Biografi Imam Ahmad bin Hambal
Nama dan kunyah
Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris Al-Shaybani, salah satu imam besar. Kunyah-nya adalah Abu Abdillah.
Kelahiran
Ahmad bin Hanbal lahir pada bulan Rabiulawal di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika masih muda, sekitar usia tiga puluh tahun, sehingga Ahmad tumbuh sebagai anak yatim. Ibunya yang mengasuh dan mendidiknya dengan penuh perhatian.
Istri dan anak
Ahmad bin Hanbal baru menikah setelah usia empat puluh tahun. Ia pertama kali menikah dengan seorang wanita bernama ‘Abasa binti Al-Fadl, yang melahirkan putranya yang bernama Shalih. Mereka hidup bersama selama dua puluh tahun sebelum Abasa meninggal. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Rayhana, yang melahirkan putranya Abdullah, namun Rayhana juga meninggal setelah tujuh tahun bersama Ahmad.
Setelah kematian ibu Abdullah, Ahmad membeli seorang budak perempuan bernama Husn, yang melahirkan putranya Ali, Zainab, dan pasangan kembar Hasan dan Husain. Namun, Hasan dan Husain meninggal tidak lama setelah kelahiran mereka. Kemudian, Husn melahirkan Hasan dan Muhammad, yang keduanya hidup sekitar empat puluh hari sebelum meninggal. Setelah itu, Husn melahirkan Sa’id sebelum kematian Imam Ahmad lima puluh hari kemudian. Sa’id tumbuh besar, mendalami ilmu, dan meninggal sebelum saudara kandungnya, Abdullah.
Ciri fisik
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki penampilan yang baik dan penuh wibawa. Ia bertubuh tinggi dan besar, dengan postur yang gagah. Wajahnya tampan dan matanya bercahaya. Dikenal pula bahwa ia sangat sederhana dalam berpakaian dan penampilannya, tidak memikirkan kemewahan atau kesombongan dalam berpenampilan. Pakaian yang dikenakannya sederhana, mencerminkan sifat zuhudnya yang besar.
Perjalanan menuntut ilmu
Ketika Imam Ahmad mencapai usia lima belas tahun, ia mulai aktif dalam mencari ilmu dan hadis. Perjalanan-perjalanannya ke berbagai penjuru dunia Islam untuk mencari hadis dari para ahli hadis terkenal, sangat membantu dalam memperluas ilmunya. Salah satu perjalanan penting yang dilakukannya adalah ke Basrah sebanyak lima kali, di mana ia berguru kepada berbagai ulama dan memperbanyak jumlah gurunya di sana.
Di antara perjalanan penting lainnya adalah ke Hijaz, di mana ia bertemu dengan para ulama besar seperti Imam Syafi’i, yang sangat mengaguminya. Dari Imam Syafi’i, ia mempelajari dasar-dasar hadis, fikih, dan ilmu tentang nasikh dan mansukh (yang menghapus dan yang dihapus). Selain itu, ia juga bertemu dengan Syekh Ibn Uyainah di Baghdad, yang saat itu merupakan ahli hadis terkemuka di Hijaz, dan mengambil banyak manfaat darinya.
Imam Ahmad juga melakukan perjalanan ke Kufah untuk mencari ilmu, serta ke Sana’a di Yaman, di mana ia belajar hadis dari Abdul Razzaq bin Hammam. Ia bertahan di Sana’a selama dua tahun, dengan bersabar pada kehidupan yang keras dan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya, bahkan menyewakan diri untuk mengangkut barang dan bekerja menenun tikar agar dapat makan dari hasil tangannya.
Jumlah gurunya lebih dari tiga ratus orang. Dalam kitab Musnad-nya, Adz-Dzahabi mencatat bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari lebih dari dua ratus delapan puluh orang. Di antara guru-guru besar yang mengajarnya adalah Hushaym bin Bashir, yang sangat ia hormati dan ia pelajari banyak hal darinya di Baghdad selama empat tahun. Selain itu, ia juga belajar dari Sufyan bin Uyainah, Basyar bin Al-Mufaddal, Al-Nadr bin Ismail Al-Bajali, Al-Walid bin Muslim, Yazid bin Harun, Waki’, dan banyak lainnya, termasuk Al-Hafizh Abu Nu’aim.
Sedangkan di antara para ulama yang meriwayatkan hadis darinya adalah Imam Al-Bukhari, muridnya Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibn Majah, serta anak-anaknya, Salih dan Abdullah. Selain itu, terdapat juga nama-nama besar seperti Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, Ibrahim Al-Harbi, dan lainnya.
Berjalan di atas akidah ahlusunah waljamaah
Imam Ahmad merupakan salah satu imam mazhab dan berpegang teguh di atas akidah ahlusunah waljamaah. Hal ini dibuktikan dari karya-karyanya di bidang akidah. Salah satu kitab yang menunjukkan akidah beliau adalah kitab Ushulussunnah. Kitab ini berisikan prinsip-prinsip dasar akidah ahlusunah waljamaah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Imam Ahmad menyampaikan tentang prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah. Selain itu, Imam Ahmad juga menuliskan sebuah risalah yang berjudul Ar-Radd ‘ala Al-Jahmiyah. Kitab ini beliau tulis untuk membantah akidah kelompok yang menyimpang dari akidah ahlu sunah.
Ulama yang teguh di atas kebenaran
Imam Ahmad adalah imamnya para ulama ahlusunah waljamaah. Dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, Imam Ahmad tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip akidah ahlusunah waljamaah tatkala menyebarnya fitnah Kholqul Qur’an (Fitnah Al-Qur’an adalah makhluk) pada masanya. Fitnah ini merupakan fitnah yang paling berat pada masa itu dan tidak ada ulama selain Imam Ahmad yang kuat untuk menghadapi fitnah ini. Pemahaman ini dianut oleh kelompok Mu’tazilah. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, tidak ada tokoh Mu’tazilah yang berani menyebarkan akidah mereka karena ketegasan Harun Ar-Rasyid. Setelah wafatnya Khalifah Harun Ar-Rasyid dan naiknya Al-Ma’mun menjadi khalifah, barulah para tokoh Mu’tazilah berani menyebarkan akidah mereka dan bahkan mempengaruhi akidah Al-Ma’mun. Akidah Mu’tazilah semakin menyebar kala itu dan para imam ahlusunah waljamaah ditangkap dan disiksa. Fitnah ini berlangsung selama tiga kekhalifahan, yaitu: Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Selama itu, Imam Ahmad menerima banyak sekali ujian seperti disiksa, dicambuk, dipenjara, dan diancam untuk dibunuh. Namun, Imam Ahmad tetap teguh atas keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah. Hal ini yang membuat kagum seluruh ulama dan orang awam ketika itu. Dan pada akhirnya, di masa kekhalifahan Al-Mutawakkil, fitnah ini usai dan Imam Ahmad mendapatkan kedudukannya kembali.
Karya-karya Imam Ahmad
- Kitab Al-‘Ilal
- Kitab Al-Naskh wal-Mansukh
- Kitab Al-Zuhd
- Kitab Al-Masa’il
- Kitab Al-Fada’il
- Kitab El-Fara’id
- Kitab Al-Manasik
- Kitab Al-Iman
- Kitab Al-Ashribah
- Kitab Ta’at Al-Rasul
- Kitab Al-Radd ‘ala Al-Jahmiyyah
- Al-Musnad. Kitab ini adalah kitab yang paling fenomenal yang ditulis oleh Imam Ahmad.
- Dan masih banyak lagi
Wafat
Shalih bin Ahmad berkata, “Pada awal bulan Rabiulawal, ayahku terkena demam pada malam Rabu dan tidur dalam keadaan demam, bernapas dengan nafas yang sangat berat. Aku telah mengetahui penyakitnya dan aku merawatnya setiap kali ia sakit.” Al-Marwazi berkata, “Abu Abdillah (Imam Ahmad) sakit pada malam Rabu dua malam sebelum awal bulan Rabiulawal, dan ia sakit selama sembilan hari. Orang-orang mendengar kabar sakitnya, lalu datang beramai-ramai untuk menjenguknya. Kadang-kadang ia memberi izin untuk orang-orang masuk. Mereka masuk dalam kelompok-kelompok dan memberikan salam kepadanya. Ia membalas dengan tangan. Ketika ia sakit, ia mendengar dari Thawus bahwa ia tidak suka mendengar keluhan orang sakit, maka ia pun menahan diri dari mengeluh, hingga pada malam yang ia wafat, ketika rasa sakitnya semakin parah, ia akhirnya mengeluh.”
Yang paling baik dalam keadaan beliau saat sakit adalah ketika ia memberi isyarat kepada keluarganya untuk membantunya berwudu. Mereka membantunya berwudu, dan ia memberi isyarat agar jari-jarinya dibersihkan dengan baik, sambil terus berzikir mengingat Allah sepanjang waktu itu. Setelah wudu selesai, beliau pun wafat – semoga Allah merahmatinya. Bertepatan pada hari Jumat, tanggal 12 Rabiulawal, tahun 241 Hijriah, dan beliau berusia 77 tahun.
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel asli: https://muslim.or.id/100828-biografi-imam-ahmad-bin-hambal.html